Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 17]
Rabu, 27 Desember 2017

Bismillah.

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, puji syukur kita panjatkan kepada Allah karena pada kesempatan ini Allah masih memberikan kepada kita kehidupan untuk memperbaiki diri dan masyarakat kita sekuat yang kita bisa. Masih melanjutkan pembahasan dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah pada bagian-bagian terdahulu.

Telah kita pelajari bersama, bahwa tauhid yang bisa menyelamatkan kita dari azab neraka adalah tauhid yang bersih dari segala bentuk syirik. Sebagaimana telah disebutkan dalilnya oleh penulis Kitab Tauhid yaitu ayat (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (al-An’aam : 82)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: Ketika turun ayat (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (al-An’aam: 82). Maka, hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, “Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud adalah seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada bab pertama/mukadimah beliau menekankan tentang hakikat dan kewajiban tauhid. Bahwa tauhid adalah syarat sah atau syarat diterimanya ibadah. Tidak ada ibadah tanpa tauhid. Maka, di dalam bab ini beliau menyebutkan keutamaan-keutamaan tauhid. Dan apabila disebutkan tentang keutamaan-keutamaan sesuatu bukan berarti sesuatu ini adalah tidak wajib. Bahkan, tauhid ini adalah kewajiban yang paling wajib, tidaklah diterima amal apapun kecuali apabila disertai dengan tauhid (lihat al-Qaul al-Mufid, 1/34)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Semakin bertambah nilai tauhid pada diri seorang hamba maka akan terhapuslah dosa-dosa sebanding dengan kadar keagungan tauhid itu. Dan semakin bertambah tauhid pada seorang hamba maka dia akan meraih keamanan di dunia dan di akhirat sesuai dengan kadar keagungan tauhid itu di dalam dirinya…” (lihat at-Tam-hid, hal. 23)

Orang Bertauhid Akan Masuk Surga

Kemudian, setelah membawakan ayat ke-82 dari surat al-An’aam Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah menyebutkan hadits dari Ubadah bin Shamit yang menunjukkan keutamaan tauhid bahwa tauhid merupakan sebab utama masuk ke dalam surga.

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah semata tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya serta kalimat-Nya yang diberikan-Nya kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga adalah benar dan neraka adalah benar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga bagaimana pun amalannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak masuk neraka sama sekali.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)

Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah datang Jibril ‘alaihis salam kepadaku dan dia memberikan kabar gembira kepadaku; bahwa barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti masuk surga.” Lalu aku berkata, “Meskipun dia pernah berzina dan mencuri?”. Beliau menjawab, “Meskipun dia berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “…Apabila dia -orang yang bertauhid- itu adalah seorang pelaku dosa besar yang meninggal dalam keadaan terus-menerus bergelimang dengannya (belum bertaubat dari dosa besarnya) maka dia berada di bawah kehendak Allah (terserah Allah mau menghukum atau memaafkannya). Apabila dia dimaafkan maka dia bisa masuk surga secara langsung sejak awal. Kalau tidak, maka dia akan disiksa terlebih dulu lalu dikeluarkan dari neraka dan dikekalkan di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘meskipun dia berzina dan mencuri’, maka ini adalah hujjah/dalil bagi madzhab Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa para pelaku dosa besar -dari kalangan umat Islam, pent- tidak boleh dipastikan masuk ke dalam neraka, dan apabila ternyata mereka diputuskan masuk (dihukum) ke dalamnya maka mereka [pada akhirnya] akan dikeluarkan dan akhir keadaan mereka adalah kekal di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])

Keutamaan Kalimat Tauhid

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang akhir ucapannya laa ilaha illallah maka dia pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani, lihat Shahih Sunan Abu Dawud no. 3116 dan dihasankan sanadnya oleh Syaikh Masyhur dalam at-Tajrid fi I’rob Kalimat at-Tauhid, hal. 15)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pamannya menjelang kematiannya, “Ucapkanlah laa ilaha illallah, niscaya aku akan bersaksi untukmu kelak pada hari kiamat dengan kalimat itu.” Maka pamannya pun enggan. Kemudian Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Sesungguhnya engkau tidaklah bisa memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (al-Qashash : 56) (HR. Muslim)

Kalimat tauhid laa ilaha illallah mengandung makna menolak segala sesembahan selain Allah apa pun bentuknya serta menetapkan bahwa segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Barangsiapa menolak peribadatan kepada selain Allah tetapi tidak menujukan ibadah kepada Allah maka dia bukan termasuk ahli tauhid. Demikian pula barangsiapa yang beribadah kepada Allah tetapi tidak mengingkari peribadatan kepada selain Allah maka dia juga bukan ahli tauhid. Tidaklah disebut sebagai ahli tauhid kecuali dengan mengingkari peribadatan kepada selain Allah dan menujukan ibadah itu hanya untuk Allah (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Syarh ad-Durus al-Muhimmah, hal. 35-36)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Washobi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah wahai saudaraku sesama muslim, semoga Allah memberikan taufik kepadaku dan kepadamu, bahwa seorang insan tidaklah termasuk ahli tauhid yang sebenarnya kecuali setelah dia mengesakan Allah dalam melakukan segala bentuk ibadah.” (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillati at-Tauhid, hal. 32)

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum kafir Quraisy, “Ucapkanlah laa ilaha illallah.” Maka mereka mengatakan (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (Shaad : 5) (HR. Ahmad)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Mereka -kaum musyrik itu-memahami bahwasanya kalimat ini menuntut dihapuskannya peribadatan kepada segala berhala dan membatasi ibadah hanya untuk Allah saja, sedangkan mereka tidak menghendaki hal itu. Maka jelaslah dengan makna ini bahwa makna dan konsekuensi dari laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.” (lihat Ma’na Laa Ilaha Illallah, hal. 31)

Oleh sebab itu wajib bagi seorang muslim untuk mengingkari penyembahan kepada selain Allah. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sungguh dia telah berpegang teguh dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan terputus.” (al-Baqarah : 256)

Buhul tali yang sangat kuat atau al-‘Urwatul Wutsqa yang dimaksud dalam ayat ini mengandung banyak makna. Mujahid menafsirkannya dengan iman. as-Suddi menafsirkan bahwa maksudnya adalah Islam. Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak menafsirkan bahwa maksudnya adalah kalimat laa ilaha illallah. Anas bin Malik menafsirkan maksudnya adalah al-Qur’an. Salim bin Abil Ja’d menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyimpulkan, “Semua pendapat ini adalah benar dan tidak bertentangan satu sama lain.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/684)

Syaikh Bin Baz rahimahullah mengatakan, “Makna kufur kepada thaghut adalah mengingkari peribadahan kepada thaghut dan berlepas diri darinya. Thaghut adalah istilah bagi segala yang disembah selain Allah. Ia disebut dengan thaghut. Maka, berhala, pohon, batu, bintang-bintang yang disembah selain Allah, semuanya adalah thaghut. Demikian pula orang yang disembah dan ridha terhadap hal itu semacam Fir’aun, Namrud, dan yang semisal mereka, itu pun disebut thaghut. Begitu pula setan, disebut sebagai thaghut karena mereka menyeru kepada syirik. Adapun orang yang disembah selain Allah namun dia tidak ridha dengannya, seperi para nabi, orang salih, dan para malaikat, mereka bukan thaghut. Sesungguhnya thaghut itu adalah setan yang mengajak untuk beribadah kepada mereka, apakah setan itu dari kalangan jin maupun manusia. Adapun para rasul, nabi, orang salih, dan malaikat semuanya berlepas diri dari hal itu. Mereka tidaklah disebut sebagai thaghut; karena mereka mengingkari penyembahan kepada mereka. Mereka bahkan memperingatkan darinya serta menjelaskan bahwa ibadah adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala semata.” (lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah [4/8-9])

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah inilah makna dari laa ilaha illallah. Bahwasanya dia kufur kepada thaghut maka ini merupakan maksud dari kalimat laa ilaha, sedangkan beriman kepada Allah ini adalah kandungan dari illallah…” (lihat Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 6)

Adapun orang yang mengucapkan laa ilaha illallah namun dia tidak mengingkari sesembahan selain Allah dan berdoa kepada para wali dan orang salih, maka yang demikian itu tidaklah bermanfaat baginya kalimat laa ilaha illallah (lihat Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 12)

Bukanlah yang dimaksud semata-mata mengucapkan laa ilaha illallah dengan lisan tanpa memahami maknanya. Anda harus mempelajari apa makna laa ilaha illallah. Adapun apabila anda mengucapkannya sementara anda tidak mengetahui maknanya maka anda tidak bisa meyakini apa yang terkandung di dalamnya. Sebab bagaimana mungkin anda meyakini sesuatu yang anda sendiri tidak mengerti tentangnya. Oleh sebab itu anda harus mengetahui maknanya sehingga bisa meyakininya. Anda yakini dengan hati apa-apa yang anda ucapkan dengan lisan. Maka wajib bagi anda untuk mempelajari makna laa ilaha illallah. Adapun sekedar mengucapkan dengan lisan tanpa memahami maknanya, maka hal ini tidak berfaidah sama sekali (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 10-11)

Yang dituntut dari ucapan laa ilaha illallah ialah mengucapkannya dengan lisan yang disertai dengan keyakinan di dalam hati dan mengamalkan segala hal yang menjadi konsekuensinya. Termasuk konsekuensi kalimat tauhid ini adalah memberikan loyalitas dan kecintaan kepada ahli tauhid serta berlepas diri dan membenci orang-orang yang memusuhi dan menentangnya. Inilah yang disebut dengan cinta dan benci karena Allah. Hal itu pun termasuk dalam konsekuensi dan tuntutan dari kalimat laa ilaha illallah (lihat Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 16)

Ibadah kepada Allah ditegakkan di atas tauhid. Setiap ibadah yang tidak disertai dengan tauhid maka itu bukanlah ibadah. Semua ibadah yang tidak tegak di atas tauhid maka itu adalah batil/sia-sia. Ibadah yang tegak di atas tauhid ini adalah ibadah yang ditujukan kepada Allah semata dan menjauhi segala sesembahan selain-Nya. Oleh sebab itu ibadah kepada Allah pun tidak diterima tanpa sikap berlepas diri dari thaghut/sesembahan selain Allah (lihat al-Qaul al-Mufid, 1/26-27)

Tauhid ini telah tercermin dalam kalimat syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Sebab, makna dari laa ilaha illallah adalah tiada yang berhak disembah selain Allah. Dan makna syahadat Muhammad rasulullah adalah tidak ada ibadah kecuali dengan apa-apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tauhid inilah yang menjadi kunci untuk masuk ke dalam Islam sekaligus menjadi kunci masuk ke dalam surga selama tidak dirusak dengan hal-hal yang bisa membatalkannya (lihat Minhaj al-Firqah an-Najiyah, hal. 32)

Oleh sebab itulah akidah/tauhid dalam agama Islam ini bagaikan kepala bagi jasad. Sehingga menjadi sebuah kekeliruan apabila perkara akidah dan tauhid ini dikesampingkan dengan alasan karena ingin fokus berjuang menegakkan daulah islam, menerapkan syari’at, atau mewujudkan persatuan ala sufiyah. Padahal, penegakan hukum syari’at, hudud, tegaknya negara Islam, menjauhi hal-hal yang diharamkan serta melakukan yang wajib-wajib -ini semuanya- adalah bagian dari hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Sementara itu adalah perkara yang mengikuti/sesudah perkara tauhid. Lantas, mengapa lebih memperhatikan perkara yang bersifat mengikuti/pendukung sementara masalah pokoknya justru diabaikan? (lihar keterangan Syakh Shalih al-Fauzan dalam mukadimah kitab Manhajul Anbiya’ fi ad-Da’wah ila Allah, hal. 10-11)

Sebagian manusia di masa kini -dan yang lebih memprihatinkan bahwa sebagian mereka itu adalah dari kalangan pencari ilmu dan da’i- tidak punya perhatian besar terhadap masalah akidah/tauhid. Mereka mengatakan bahwa memulai dakwah dengan tauhid akan membuat lari manusia, jangan kalian membuat orang lari. Sehingga menurut mereka tidak usah diajarkan masalah akidah, biarkan setiap orang dengan akidahnya masing-masing. Ajak saja mereka untuk saling bersaudara/menjalin ukhuwah dan bekerjasama, ajak kepada persatuan. Demikian seruan mereka. Ini adalah kontradiktif. Sebab tidak mungkin terjalin ukhuwah, kerjasama dan persatuan kecuali di atas akidah sahihah. Kalau tidak demikian niscaya terjadi perselisihan dan masing-masing golongan hanya akan membela apa-apa yang mereka yakini (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 14)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para da’i pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah/perbaikan dalam hal aqidah. Tanpa memperbaiki aqidah tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakan berbagai mu’tamar/pertemuan atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semuanya tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki aqidah, yaitu aqidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16)

Suatu saat, Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ditanya, “Disana ada orang yang mengatakan; bahwa kaum muslimin sekarang ini sedang dibunuhi -dimana-mana- sedangkan kalian mengajak manusia kepada tauhid, padahal kebanyakan manusia sekarang ini sudah berislam/tunduk kepada Allah?”. Maka beliau menjawab, “Tidaklah mereka dibunuhi kecuali karena mereka melalaikan masalah tauhid. Sebab seandainya mereka istiqomah di atas tauhid pasti Allah ‘azza wa jalla memberikan pertolongan/kemenangan kepada mereka. Salah satu sebab utama dibunuhinya kaum muslimin adalah karena syirik yang merajalela diantara mereka dan tidak adanya perhatian mereka terhadap masalah tauhid.” (lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 44)

Semoga catatan singkat ini bermanfaat.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-17/